Beberapa contoh di antaranya:
1. Seseorang menderita kanker ganas dengan rasa
sakit yang luar biasa hingga penderita sering
pingsan. Dalam hal ini dokter yakin bahwa yang
bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter
memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis)
yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya,
tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus.
2. Orang yang mengalami keadaan koma yang sangat
lama, misalnya karena bagian otaknya terserang
penyakit atau bagian kepalanya mengalami benturan
yang sangat keras. Dalam keadaan demikian ia hanya
mungkin dapat hidup dengan mempergunakan alat
pernapasan, sedangkan dokter berkeyakinan bahwa
penderita tidak akan dapat disembuhkan. Alat
pernapasan itulah yang memompa udara ke dalam
paru-parunya dan menjadikannya dapat bernapas
secara otomatis. Jika alat pernapasan tersebut
dihentikan, si penderita tidak mungkin dapat
melanjutkan pernapasannya. Maka satu-satunya cara
yang mungkin dapat dilakukan adalah membiarkan si
sakit itu hidup dengan mempergunakan alat
pernapasan buatan untuk melanjutkan gerak
kehidupannya. Namun, ada yang menganggap bahwa
orang sakit seperti ini sebagai "orang mati" yang
tidak mampu melakukan aktivitas. Maka
memberhentikan alat pernapasan itu sebagai cara
yang positif untuk memudahkan proses kematiannya.
Memudahkan proses kematian secara aktif (eutanasia positif)
seperti pada contoh nomor satu tidak diperkenankan oleh
syara'. Sebab yang demikian itu berarti dokter melakukan
tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan
mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara
overdosis. Maka dalam hal ini, dokter telah melakukan
pembunuhan, baik dengan cara seperti tersebut dalam contoh,
dengan pemberian racun yang keras, dengan penyengatan
listrik, ataupun dengan menggunakan senjata tajam. Semua itu
termasuk pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk
dosa besar yang membinasakan.
Perbuatan demikian itu tidak dapat lepas dari kategori
pembunuhan meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan
kepada si sakit dan untuk meringankan penderitaannya. Karena
bagaimanapun si dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang
daripada Dzat Yang Menciptakannya. Karena itu serahkanlah
urusan tersebut kepada Allah Ta'ala, karena Dia-lah yang
memberi kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya
apabila telah tiba ajal yang telah ditetapkan-Nya.
Adapun contoh kedua dari eutanasia positif ini kita tunda
dahulu pembahasannya setelah kita bicarakan eutanasia
negatif.
EUTANASIA NEGATIF (MENGHENTIKAN/TIDAK MEMBERIKAN PENGOBATAN)
Adapun memudahkan proses kematian dengan cara pasif
(eutanasia negatif) sebagaimana dikemukakan dalam
pertanyaan, maka semua itu --baik dalam contoh nomor satu
maupun nomor dua-- berkisar pada "menghentikan pengobatan"
atau tidak memberikan pengobatan. Hal ini didasarkan pada
keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak
ada gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit,
sesuai dengan sunnatullah (hukum Allah terhadap alam
semesta) dan hukum sebab-akibat.
Diantara masalah yang sudah terkenal di kalangan ulama
syara' ialah bahwa mengobati atau berobat dari penyakit
tidak wajib hukumnya menurut jumhur fuqaha dan imam-imam
mazhab. Bahkan menurut mereka, mengobati atau berobat ini
hanya berkisar pada hukum mubah. Dalam hal ini hanya
segolongan kecil yang mewajibkannya seperti yang dikatakan
oleh sahabat-sahabat Imam Syafi'i dan Imam Ahmad sebagaimana
dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah,1 dan sebagian
ulama lagi menganggapnya mustahab (sunnah).
Para ulama bahkan berbeda pendapat mengenai mana yang lebih
utama: berobat ataukah bersabar? Diantara mereka ada yang
berpendapat bahwa bersabar (tidak berobat) itu lebih utama,
berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan dalam kitab
sahih dari seorang wanita yang ditimpa penyakit epilepsi.
Wanita itu meminta kepada Nabi saw. agar mendoakannya, lalu
beliau menjawab:
"'Jika engkau mau bersabar (maka bersabarlah), engkau akan
mendapatkan surga; dan jika engkau mau, akan saya doakan
kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.' Wanita itu menjawab,
aku akan bersabar. 'Sebenarnya saya tadi ingin dihilangkan
penyakit saya. Oleh karena itu doakanlah kepada Allah agar
saya tidak minta dihilangkan penyakit saya.' Lalu Nabi
mendoakan orang itu agar tidak meminta dihilangkan
penyakitnya."2
Disamping itu, juga disebabkan banyak dari kalangan sahabat
dan tabi'in yang tidak berobat ketika mereka sakit, bahkan
diantara mereka ada yang memilih sakit, seperti Ubai bin
Ka'ab dan Abu Dzar radhiyallahu'anhuma. Namun demikian,
tidak ada yang mengingkari mereka yang tidak mau berobat
itu.3
Dalam kaitan ini, Imam Abu Hamid al-Ghazali telah menyusun
satu bab tersendiri dalam "Kitab at-Tawakkul" dari Ihya'
Ulumuddin, untuk menyanggah orang yang berpendapat bahwa
tidak berobat itu lebih utama dalam keadaan apa pun.4
Demikian pendapat para fuqaha mengenai masalah berobat atau
pengobatan bagi orang sakit. Sebagian besar diantara mereka
berpendapat mubah, sebagian kecil menganggapnya mustahab
(sunnah), dan sebagian kecil lagi --lebih sedikit dari
golongan kedua-- berpendapat wajib.
Dalam hal ini saya sependapat dengan golongan yang
mewajibkannya apabila sakitnya parah, obatnya berpengaruh,
dan ada harapan untuk sembuh sesuai dengan sunnah Allah
Ta'ala.
Inilah yang sesuai dengan petunjuk Nabi saw. yang biasa
berobat dan menyuruh sahabat-sahabatnya berobat, sebagaimana
yang dikemukakan oleh Imam Ibnul Qayyim di dalam kitabnya
Zadul-Ma'ad.5 Dan paling tidak, petunjuk Nabi saw. itu
menunjukkan hukum sunnah atau mustahab.
Oleh karena itu, pengobatan atau berobat hukumnya mustahab
atau wajib apabila penderita dapat diharapkan kesembuhannya.
Sedangkan jika sudah tidak ada harapan sembuh, sesuai dengan
sunnah Allah dalam hukum sebab-akibat yang diketahui dan
dimengerti oleh para ahlinya --yaitu para dokter-- maka
tidak ada seorang pun yang mengatakan mustahab berobat,
apalagi wajib.
Apabila penderita sakit diberi berbagai macam cara
pengobatan --dengan cara meminum obat, suntikan, diberi
makan glukose dan sebagainya, atau menggunakan alat
pernapasan buatan dan lainnya sesuai dengan penemuan ilmu
kedokteran modern-- dalam waktu yang cukup lama, tetapi
penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan, maka melanjutkan
pengobatannya itu tidak wajib dan tidak mustahab, bahkan
mungkin kebalikannya (yakni tidak mengobatinya) itulah yang
wajib atau mustahab.
Maka memudahkan proses kematian (taisir al-maut) --kalau
boleh diistilahkan demikian-- semacam ini tidak seyogyanya
diembel-embeli dengan istilah qatl ar-rahmah (membunuh
karena kasih sayang), karena dalam kasus ini tidak didapati
tindakan aktif dari dokter. Tetapi dokter hanya meninggalkan
sesuatu yang tidak wajib dan tidak sunnah, sehingga tidak
dikenai sanksi.
Jika demikian, tindakan pasif ini adalah jaiz dan dibenarkan
syara' --bila keluarga penderita mengizinkannya-- dan dokter
diperbolehkan melakukannya untuk meringankan si sakit dan
keluarganya, insya Allah.
menghentikan alat pernapasan buatan dari si sakit, yang
menurut pandangan dokter dia dianggap sudah "mati" atau
"dihukumi telah mati" karena jaringan otak atau sumsum yang
dengannya seseorang dapat hidup dan merasakan sesuatu telah
rusak.
Kalau yang dilakukan dokter itu semata-mata menghentikan
alat pengobatan, hal ini sama dengan tidak memberikan
pengobatan. Dengan demikian, keadaannya seperti keadaan lain
yang diistilahkan dengan ath-thuruq al-munfa'ilah
(jalan-jalan pasif/eutanasia negatif).
Karena itu, saya berpendapat bahwa eutanasia seperti ini
berada di luar daerah "memudahkan kematian dengan cara
aktif" (eutanasia positif), tetapi masuk ke dalam jenis lain
(yaitu eutanasia negatif; Penj.)
Dengan demikian, tindakan tersebut dibenarkan syara', tidak
terlarang. Lebih-lebih peralatan-peralatan tersebut hanya
dipergunakan penderita sekadar untuk kehidupan yang lahir
--yang tampak dalam pernapasan dan peredaran darah/denyut
nadi saja-- padahal dilihat dari segi aktivitas maka si
sakit itu sudah seperti orang mati, tidak responsif, tidak
dapat mengerti sesuatu dan tidak dapat merasakan apa-apa,
karena jaringan otak dan sarafnya sebagai sumber semua itu
telah rusak.
Membiarkan si sakit dalam kondisi seperti itu hanya akan
menghabiskan dana yang banyak bahkan tidak terbatas. Selain
itu juga menghalangi penggunaan alat-alat tersebut bagi
orang lain yang membutuhkannya dan masih dapat memperoleh
manfaat dari alat tersebut. Di sisi lain, penderita yang
sudah tidak dapat merasakan apa-apa itu hanya menjadikan
sanak keluarganya selalu dalam keadaan sedih dan menderita,
yang mungkin sampai puluhan tahun lamanya.
Saya telah mengemukakan pendapat seperti ini sejak beberapa
tahun lalu di hadapan sejumlah fuqaha dan dokter dalam suatu
seminar berkala yang diselenggarakan oleh Yayasan Islam
untuk ilmu-ilmu Kedokteran di Kuwait. Para peserta seminar
dari kalangan ahli fiqih dan dokter itu menerima pendapat
tersebut.
Segala puji kepunyaan Allah yang telah memberi petunjuk
kepada kita ke jalan Islam ini, dan tidaklah kita akan
mendapat petunjuk kalau bukan Allah yang menunjukkan kita.
0 komentar:
Posting Komentar