Jujur, kata yang mudah diucapkan namun sulit dilakukan. Sebenarnya setiap orang mempunyai kompetensi untuk jujur namun kelihatannya sebagian besar lebih didominasi dengan hobi berbohong. Dalam kenyataannya, secara hukum tingkat kejujuran seseorang biasanya dinilai dari ketepatan pengakuan atau apa yang dibicarakan sesuai kenyataan yang terjadi. Jadi jika seseorang menutupi suatu hal sekecil apapun sesuai yang sebenarnya maka orang itu dapat dikatakan tidak jujur.
Dewasa ini rasanya makin sulit menemukan sosok seseorang yang hidup penuh kejujuran. Anak melihat orang tua berbohong kemudian anak menirunya, kemudian jika disalahkan maka orang tua membela dengan argumen bahwa kita berbohong demi kebaikan. Contoh sederhan, ketika ada seorang anak jatuh kemudian orang tuanya berkata, “Oh, sudah nggak papa. Nggak sakit kok?” Tanpa disadari orang tua telah mengajarkan anaknya untuk berbohong.
Ada opini yang menyatakan bahwa kita berbohong demi kebaikan.
Kebaikan, Itulah yang menjadi masalah selama ini. Kebaikan apakah yang dimaksud. Karena sebenarnya kebaikan sangatlah relatif. Sesorang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) demi memenuhi kebutuhan keluarganya, padahal dia tahu kalau KKN sama saja dengan menipu. Dia melakukan sebuah kebohongan untuk kebaikan keluarganya. Jika dia tidak melakukan hal itu maka keluarganya tidak mendapatkan nafkah. Praktek kebohongan seperti ini seakan menjadi sebuah lingkaran setan yang tak terpecahkan.
Celakanya hal ini terasa makin mendarah daging pada bangsa Indonesia. Bahkan pihak yang berwenang menangani penegakan kasus-kasus pelanggaran malah menjadi lembaga yang terkorup dalam perlembagaan di Indonesia. Tentu saja kenyataan ini cukup menyedihkan, mengingat jika kita ingin negara kita tercinta ini menjadi negara yang maju.
Dan yang lebih parahnya lagi, lembaga pendidikan yang notabene menjadi lembaga pencetak generasi penerus bangsa ini juga tak luput dengan kasus-kasus kebohongan. Mulai kasus kecurangan pendaftaran, penggelembungan dana insidental, korupsi dana sekolah, contek-mencontek, penyogokan guru demi mendapat nilai yang bagus, bahkan kecurangan pada saat UN.
Ketergantungan kita pada Komisi Pemberantaan Korupsi (KPK) sebagai pihak yang berwenang memberantas korupsi ini tergolong menyedihkan. Dikhawatirkan jika lembaga ini akan berakhir menjadi lembaga-lembaga penegak hukum lain di Indonesia. Dengan para pegawai yang gila hormat dan rakus akan pundi-pundi.
“Akankah Indonesia berakhir nasibnya di tangan bangsanya sendiri?”
Pertanyaan inilah yang perlu kita telaah lebih jauh jika kita masih mencintai Indonesia, negara yang konon gemah ripah loh jinawi.
Sebenarnya masalah ketidak jujuran ini dapat kita atasi jika hati nurani kita terlatih untuk bertindak jujur. Akhir-akhir ini di beberapa lembaga negara diadakan kantin kejujuran. Dimana pembeli melayani jual beli sendiri. Dengan mengambil barang kemudian membayarnya dalam kotak yang disediakan. Dan bila ada kembalian bisa diambil di kotakuang kembalian yang telah disediakan juga. Namun itu tidak cukup efektif jika para penghuni lembaga-lembaga tersebut tidak memiliki pribadi yang jujur.
Mungkin hukuman rajang/ potong tangan dalam islam bisa menjadi alternatif yang ampuh dalam mengobati penyakit yang satu ini. Selain membawa efek jera, hukuman ini juga setimpal jika dibandingkan dengan korupsi uang rakyat yang menyengsarakan banyak orang. Andaikan manusia seperti pinokio. Yang hidungnya akan memanjang jika berbohong. Mengingat orang Indonesia sangat memperhatikan penampilan dan takut akan siksaan.
Kita tahu kalau berbohong adalah sebuah tindakan yang berdosa. Maka janganlah sekali-kali kita melakukannya. Jangan pula menipu diri sendiri. Kita adalah manusia, kemampuan kita terbatas dan memiliki bakat masing masing sesuai takaran kemampuan kita. Maka janganlah terlalu ambisius dalam hal apapun. Syukurilah apa yang kita miliki, percayalah tuhan akan selalu memberikan yang terbaik untuk kita. Amin.
0 komentar:
Posting Komentar